Warta Journalizm

Warta Journalizm KPI IAIN Kudus

Post Page Advertisement [Top]

Bila Terpilih Rindu



Bila Terpilih Rindu
Oleh : Shoma Noor Firda Inayah

Jemariku masih menggoreskan tinta hitam di buku harianku yang berwarna biru. Sekarang, aku semakin rajin untuk menumpahkan curahan hatiku ke dalam buku harian. Mungkin karena aku tak mengerti dengan perasaan yang tiba-tiba tumbuh di semak hatiku. Rasa itu, entah kapan melekatnya. Hingga iman yang kini baru ku bangun, perlahan roboh. Sosok perempuan lembut nan berjilbab lebar telah mencuri hatiku, memamah lembut ketegasanku, dan membuat harapanku tergantung kepadanya. Aku menutup buku harianku, dengan sebuah kalimat “Aku jatuh hati kepadanya”.

Deringan bel sudah membisingkan telingaku, mungkin sebaiknya aku segera keluar kelas dan mencari perempuan itu. Jika ada seseorang yang memakai selembar kain untuk menutupi rambutnya, itu lah perempuan yang aku cari. Aku berniat untuk … Ah, apakah itu mungkin? Aku, sebagai lelaki tertampan dan tergagah di sekolah, akan menjadikan perempuan berjilbab sebagai pacar?

“Aisyah? Tunggu!!” kataku melihat perempuan itu melintas di hadapanku. Aku mendekatinya, tetapi malah dia melangkah mundur untuk menjaga jarak di antara kita.
“Iya? Ada apa, Kak Teren?” tanyanya sambil menunduk. Ah, aku tak sempat melihat ayu wajahnya.  Aku juga hampir tak bisa mengatakan sepatah kata kepadanya. Tetapi, aku masih bisa mengalihkan niatku untuk menembaknya.
“Gimana persiapan Kompetisi Lomba Menyanyi-nya? Sudah siapkah?” tanyaku.
“Belum ada persiapan. Tapi katanya Kepala Sekolah, Ketua OSIS di suruh ke kantor nanti siang sepulang sekolah, Kak. Jadi, Kakak nanti jangan lupa, ya.” jawabnya ingin segera meninggalkanku. Aku hanya mengangguk, lalu dia berjalan lagi.
“Aisyah, Tunggu!!” kataku lagi.

Ia berhenti melangkahkan kakinya. “Aku hanya ingin.. Er.. Apakah kamu mau.. jadi pacarku?” akhirnya aku berani mengatakan itu, walaupun terbata-bata. Ia hanya terdiam. Sempat aku mendengar isakannya. Aku tidak mengerti, apakah dia menangis?

“Jika aku tidak beriman kepada Allah, aku mau menjadi pacarmu, karena semenjak bertemu denganmu, aku telah jatuh hati.. Tapi..” jawabnya. Aku setengah bahagia menyeringai ayu wajahnya. “Tapi apa?” tanyaku sedikit penasaran.

 “Tapi dalam agama Allah, tidak ada istilah pacaran.. Maafkan aku, Kak Teren!! Tapi aku mau kalau jadi calon istri buat Kak Teren. Setelah Kak Teren rajin ibadah sama Allah.” Jawabnya sambil menangis. Lalu ia pergi dan tidak lagi menghentikan langkahnya. Ku lihat ia berjalan dengan tersedu-sedu. Mengapa wanita sangat mudah menagis? batinku. Aku kecewa dengan jawaban Aisyah, ia menolakku.

***
Keesokan harinya, aku mengundang seluruh anggota OSIS untuk rapat “Kompetisi Lomba Menyanyi” di kantor OSIS. Banyak pasang mata yang tertuju kepadaku. Perempuan-perempuan genit dan merasa sok cantik mengerdipkan bulu matanya kearahku. Itulah yang aku tidak suka dari mereka, huh. Tetapi, aku tak melihat batang hidung mancungnya Aisyah. Aku merasa lemah tanpanya.

“Lapor, Ren!! Aisyah, kelas sepuluh, ijin tidak mengikuti rapat ini, karna pulang kampung  selama  kurang lebih satu bulan. Katanya sih, mau nengok Abi-nya yang sedang sakit,” salah satu temanku memberi tahuku tentang Aisyah. Pantas saja, jika aku merasa jauh darinya. Aku melihat sekeliling, serasa berputar-putar, dan.. Brukk!! Orang-rang menghampiri tubuhku. Lalu aku tak mengetahui lagi apa yang sedang terjadi. 

***
Dua puluh tiga hari kemudian.
Wajahku semakin pucat, rasa rinduku yang bergemelut di fikiran memecah badai yang sedang berkecamuk di tepi pantai Kartini. Buku harianku lah yang menemaniku, karna aku menyukai sastra, Aisyah ahli matematika. Ku tulis deretan kata:
Tanyakan pada rembulan. Apakah kita masih bisa bertemu? Diantara indahnya sajak bahasa dan deret hitungan angka, menabuh bersama gendang cinta kita. Apakah kita masih bisa merajut kehidupan baru? Apakah hanya aku yang terlalu berharap lebih kepadamu, Aisyah? Aku merindukanmu, aku sangat merindukanmu.. Aisyah!!

Aku tidak lagi memikirkan Kompetisi Lomba Menyanyi itu lagi. Wakil-ku lah yang ku suruh untuk mengurusi semua hal yang berkaitan dengan acara itu. Aku terlalu sibuk memikirkan kerinduanku kepada Aisyah. Apakah kamu juga merindukanmu, Aisyah? Apakah kamu masih mau menjadi calon istriku? Fikiranku melayang-layang. Tubuhku yang gagah, terlihat lemas dan gontai karena tidak doyan makan. Aku terbaring pucat di kamarku. Orang tuaku sibuk dengan bisnis, tidak ada yang memperdulikanku. Mungkin karena itu, aku tidak faham agama seperti Aisyah. Aisyah.. Perlahan aku membuka mataku.

“Kak Teren? Kakak sudah bangun? Wajah Kakak pucat sekali.. Maaf, Aisyah pergi terlalu lama.. Aku juga merindukanmu, Kak.. Maaf,” tanya Aisyah memegang buku harian yang tadi ku isi, mungkin dia telah membacanya. Aku tergagap. Aisyah?? Kau disini?? Seakan ini mimpi, tapi ini nyata.

“Iya, Aisyah. Tidak apa-apa. Kakak boleh menanyakan satu hal?” tanyaku menatap wajah ayunya yang telah lama ku rindukan. Ia mengangguk. “Manakah yang lebih ingin Aisyah lakukan diantara ini..” Aku mengambil secarik kertas dan menuliskan Menikah denganku dan mencintaiku, selamanya... ataukah selalu merindukanku yang selalu merindukanmu untuk menjadi seorang istri? Lalu ku berikan kepadanya

Ia termenung. Seperti biasanya, ia terisak lalu menangis. “Kakak.. aku lebih ingin merindukan kakak, karena Abi sudah memilihkan jodoh buat Aisyah. Aisyah minta maaf sekali, Kak. Kalau dulu Kak Teren rajin ibadah, pasti Abi memilihkanmu untuk menjadi imam sholat Aisyah..” Ia terisak. Begitu juga denganku, aku menangis untuk kesekian kalinya karena Aisyah.

“Ya sudah, terima kasih, Aisyah.. Kakak boleh minta tolong? Ambilkan gunting di laci meja belajar Kakak.” Tanpa basa-basi, Aisyah segera mengambil gunting tajam di laciku. Aku tersenyum kepadanya. “Terima kasih, dengan begini.. Aisyah akan selalu merindukan Kakak,” Aku menusukkan perutku dengan gunting tajam itu, darah bercucuran. Aisyah menangis tersedak-sedak, hanya itu yang ku tahu, dan sekarang aku tak bisa merasakan denyut nadiku lagi. Semoga kau tetap merindukanku, Aisyah..

***

No comments:

Post a Comment