Warta Journalizm

Warta Journalizm KPI IAIN Kudus

Post Page Advertisement [Top]

Kado Kecil Untuk Ayah dan Ibu

Kado Kecil Untuk Ayah dan Ibu
Oleh : Nindia Sakshita Putri

Hari masih gelap. Berselimutkan sayap-sayap salju yang bergelimang. Wushhh… angin mulai berhembus untuk yang kesekian kali. Badanku menggigil kedingin walau telah terlilit sweter abu-abu pemberian nenek 2 tahun yang lalu. Dingin sekali, Entah kata-kata apa yang dapat mewakili betapa dinginnya pagi ini. ya, pada fajar ini aku belum memejamkan mataku barang satu atau dua menit sekedar beristirahat. Jam dinding menunjukkan pukul satu pagi dini hari. Pikiranku tak tentu. Cemas, khawatir, sedih, semuanya bercampur jadi satu. Aku merapat ke jendela kayu kamarku yang terbuka.

Agar bisa melihat bintang yang indah berjejer di angkasa beserta bulan yang bersinar bak mentari di siang hari. Ku pandangi mereka. Begitu Indah..! Dan sungguh menawan. Mereka semua yang menciptakan adalah Tuhanku dan Tuhan seru sekalian alam. Nyamannya hati ini. Lebih teduh berkali-kali lipat dari yang tadi. Dan ini sudah menjadi kebiasaan bagiku. Cara yang tepat untuk menghibur diriku tak lain adalah dengan cara ini, melihat keindahan Sang pencipta di fajar hari saat para manusia yang lainnya terlelap tidur saat hawa dingin dua kali lipat waktu malam hari.

Ya Tuhan… izinkan aku tinggal disana bersama bintang, agar aku bisa melihat orang-orang yang ku sayangi dari atas.Ya Tuhan… izinkan aku terbang bersama burung bebas mengepakkan sayapnya. Ya Tuhan… izinkan aku merasakan sejuknya belaian halus segumpal awan di atas sana, agar aku tahu rasanya hati tenang itu seperti apa. Tuhan, aku jatuh. Tak tahu kemana lagi aku harus melangkah. Akankah ke kiri atukah ke kanan. Ataukah mungkin lurus. Ya Rabbi… aku butuh bimbinganmu menghadapi ujian di dunia. Menghadapi pilihan yang menentukan masa depanku. Aku dan bahkan saudar-saudaraku seagama dan seiman sangat butuh bimbingan dan petunjuk-Mu.

Allohummarkhamna bilqur’an. Allohummarkhamna bilqur’an. Ku menutup jendela dan berdiri keluar kamar menuju kran air berada yang tak lain untuk menyiram tubuh ini dengan air wudhu. Brrr… dinginnya bukan main. Walau sudah berulang kali ku melakukannya, sensasi yang di ciptakan tak pernah ada bosan-bosannya. Mataku plong, pikiran terasa ringan. Hatiku tenteram. Subhanallah anugerah dari Gusti Alloh sungguh sangat luar biasa. “maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?. Semua yang ada di langit dan di bumi meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan.”(Q.S. Ar-Rahman : 28-29).

Selesai wudhu aku melaksanakan sembahyang tahajjud. Di malam yang telah di janjikan Tuhanku malam yang mustajab. Malam di mana para malaikatnya turun ke bumi mencari siapa saja hamba-hamba-Nya yang berdo’a sujud menyembah kepada Alloh Rabb sekalian alam. Allahu akbar… Allohu akbar… Allohu akbar… maha suci Engkau ya Alloh. Ku bermunajat agar kiranya dapat di bimbing jalan manakah yang akanku ambil. Kuliah ke luar Negara menuruti impianku yang telah ku bangun sedemikian lama ataukah menuruti keinginan mulia Ayah dan Ibu mondok mesantren. Kalau aku bisa memilih aku lebih memilih  mondok mesantren dari dulu, dari saat diriku masih usia dek Faza adik sepupuku yang kini duduk di bangku 3 MI. keputusanku sudah bulat. Aku akan kuliah ke Luar Negeri jika berterus terang pada Ayah dan Ibu, beliau pasti mengizinkannya.

Allohu akbar… Allohu akbar…
Ku mendengar suara adzan telah berkumandang barcampur dengan suara ibu.
“nak, bangun. Waktu shubuh sudah memanggil.Ayo, ganti wudhumu”.Astaghfirulloh… aku ketiduran di sini.
“iya, bu. Aku akan mengambil wudhu kembali”.
“cepat, ya. Nanti kita sholat shubuh berjama’ah”.
“iya, bu”.Aku melangkahkan kaki memperbarui wudhu yang batal karena hilang kesadaran. Ya, karena tidur. Alhamdulillah… aku bisa tidur menenangkan syaraf-syaraf walau sebentar.

Habis sholat nanti ingin ku mengutarakannya pada ibu dahulu. Ah, tapi rasanya ada tak enak di hati. Lebih baik ku mengurungkan niatanku menunggu waktu yang tepat. Di meja makan kami sekeluarga sarapan pagi dan bertatapan muka langsung. Ini dia, waktu yang ku tunggu-tunggu. Aku akan mengutarakan niatan yang sudah ku ambil waktu fajar. Bismillah… lillahi Rabbi.

“Ayah Ibu, aku ingin memberiatahukan sesuatu”.
“bicara saja nak. Ayah dan Ibu mendengarkan”.jawab ibu dengan sesimpul senyum yang menghiasi.

Belum selesai aku berbicara telephon di saku Ayah berbunyi. Ayah meminta ijin untuk mengangkat telephon menjauh di meja makan. Ku lihat Ibu seperti ia sama denganku tak terlihat suka dengan ketidak sopanan siapa yang menelpon se-pagi ini. “oh, iya. Ananda ingin bicara apa dengan Ayah dan Ibu?” Tanya Ibu menimpali.

“tidak, bu. Sebenarnya ini tidak terlalu penting”.
“(ibu hanya tersenyum padaku) ya, sudah lanjutkan makanmu lalu berangkat sekolah ya…”.jawab Ibu.
“iya, bu”. Ah, tidak. Ini waktu yang tepat untuk kamu bicara sama Ibu. Tapi, aku tidak punya cukup keberanian mengutarakannya takut jika membuat Ibu sedih. Aku berangkat sekolah bertemankan motor pemberian Ayah dan Ibu. Tidak baru memang dan tidak semengkilat milik para teman-teman umumnya paling tidak masih bisa membawaku pergi ke sekolah mencari ilmu yang tinggal beberapa bulan menunggu kelulusan. Aku suka dengan motor ini. ya, karena sudah 3 tahun menemani hari-hariku mencari ilmu.

Di sekolah masih ramai-ramainya membicarakan acara keluarga mereka masing-masing di karenakan untuk memperingati Tahun Baru Hijriah yang tinggal tiga hari. Ya, Tahun barunya ummat muslim. Ada yang berlibur ke pantai, ada yang hanya istirahat di rumah, pun tak jarang ada yang menghabiskan waktu untuk kekasih haramnya. Kenapa aku berkata seperti itu, karena sudah jelas bukan jika bertatapan muka dengan lawan jenis yang bukan mahrom saja haram, apalagi jika berdua-duaan. Itu sudah jelas kekasih haram. Tak bermaksud menyinggung, hanya membenarkan apa yang sudah tertera dalam kitab. Kalau tak percaya buka saja dalam kitabاللجىنعقودkarya Syekh Muhammad bin Umar Nawawi. Seratus persen membahas tentang wanita. Untuk memperingati tahun baru hijriyah nanti aku tak punya acara. Acaraku hanya satu yaitu mengaji khataman Qur’an dan do’a bersama teman-teman di Masjid.

Aku masih memunculkan keringat dingin untuk mengutarakan keputusanku nanti.Aku sudah yakin memantapkan hati untuk kuliah di Luar Negeri.Tapi, yang menjadi pernyataan apakah Ayah Ibu setuju.Sesaat setelah bel pulang berbunyi aku segera pulang meluruskan untuk mengutarakan niatanku. Kebetulan Ayah dan Ibu beristirahat di ruang tamu. Aku sudah siap. Setelah pakaian seragam terganti oleh gamis  dan kerudung coklat ku mulai merangkai kata-kata dan…

“Ayah Ibu maafkan anakmu.Aku memilih untuk melanjutkan kulia, yah. Bukan bermaksud untuk menolak permintaan Ayah dan Ibu. Tapi, aku janji akantetap menghafalkan Al-qur’an nantinya. Dan setelah kuliah nanti aku akan mondok. Aku janji Ayah”.Ku lihat beliau sangat tercengang mendengar keputusanku ini.

“nak, apakah pilihanmu sudah kamu fikirkan matang-matang?” Tanya Ibu.
“sudah, ibu. Aisyah sudah memikirkannya matang-matang”.
“Ayah masih tetap dalam keputusan awal, nak. Tidak berubah.Semoga kamu bisa mengerti”.

Serasa jantung ini mau copot.Air mata tak terbendung lagi.Membanjiri pipi yang sudah sedari tadi memerah.Aku jatuh.Aku kecewa.Seketika aku memasuki kamar.Mengunci pintu rapat-rapat tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.Aku menangis terdiam sekuat-kuat yang ku punya.Mengeluarkan gumpalan kekecewaan dan kesedihan yang berada dalam hati.Beribu pertanyaan muncul.Apakah yang ku lakukan sudah benar atau malah salah.Tidak.Sungguh aku tidak ingin mengecewakan beliau.

Sudah dua hari ini aku mengurung diri di kamar.Ku membuka jendela. Langit penuh dengan hiasan kembang api. Ayah dan Ibu pergi ke masjid bersama warga yang lainnya. Mengasyikkan di luar.Berkumpul bersama mengaji merayakan Tahun Baru Hijriyah. Besok aku akan meminta maaf pada beliau dan menapaki lembaran baru di Tahun ini. Bismillah… lillahi Ta’ala.

Adzan shubuh telah memanggil tapi tak ada Ayah ataupun Ibu yang menyalakan keran untuk sholat shubuh. Yang ada hanyalah sebuah nasi dan lauk pauk tersaji di atas meja. Dan juga sepucuk kertas yang bertuliskan :

“nak… Ayah Ibu pergi sebelum shubuh ke Pondok Kyai Muhsin di Jombang, Jawa Timur untuk bersilaturahmi kepada beliau sekaligus bermaksud membatalkan rencana kamu mondok di sini.sangat di sayangkan memang. Tapi, tak mengapa Ayah dan Ibu tidak ingin memaksakanmu. Bukankah sesuatu yang di paksakan berujung tidak baik.Ayah Ibu, tak meminta lebih nak… kami hanya meminta carilah ilmu yang bermanfaat di dunia dan akhirat. Selamat Tahun Baru Hijriyah, nak. Semoga kita semua dalam lindungan Alloh”.

Sendirian diriku di rumah.Merayakan Tahun Baru bertemankan nasi buatan Ibu. Waktu berlalu melabuhkan pada jam setengah Sembilan. Aku melaksanakan sholat Dhuha memohon perlindungan perjalanan Ayah dan Ibu dari Kudus ke Jombang. Sepersekian menit telephon berbunyi.Kriing… kriing… kriing… ku lepaskan mukena berlari mengangkat telephon.

“halo, maaf ini dengan keluarga Pak Ahmad?” timpal suara seorang laki-laki tak kukenal.
“iya, benar. Maaf ini dengan siapa ya?”
“ini dengan pihak Rumah Sakit, ingin melaporkan bahwa Pak Ahmad beserta istri mengalami kecelakaan. Harap saudara men…”.Jantung berdetak secepat kilat.Keringat dingin muncul.Tubuhku lemas tiada daya yang menopang untuk melangkah lagi.Aku tak percaya, tidak mungkin semua ini terjadi.

Bendera kuning telah bertengger.Kursi-kursi telah tertata rapi di halaman. Semua keluarga dari Ayah dan Ibu berkumpul di rumah. Jam sepuluh siang mobil ambulan yang membawa jenazah mulia Ayah dan Ibu sampai di rumah. Menurunkannya hendak di mandikan dan segera di kafani.Sebelum kain itu menutup wajah beliau, ku melihat wajah beliau berdua.Tenang, tenteram, tiada raut wajah yang sedih.Itu artinya beliau ikhlas bersama-Nya dan Allah ikhlas meridhoinya.Ku cium kening beliau tak ingin ku melepaskan namun dunia telah memisahkan.Aku masih dalam kondisi menangis di depan jenazah yang sangat aku hormati. Air mata tak terbendung lagi.Ayah Ibu aku berjanji akan menuruti keinginanmu. Aku akan menghafalkan Al-Qur’an dan pahala ini ku hadiahkan untukmu. Aku berjanji…

Empat tahun berlalu…

Assalamu’alaikum dunia…
Apa kabar hari ini pasti sama dengan hari-hari kemarin bukan. Kabarku baik bahkan lebih baik dari hari kemarin. Empat tahun berlalu sekarang akhirnya aku bisa merasakan tinggal di sini. Dapat belajar di salah satu universitas melanjutkan pendidikan. Bergaul dengan tetangga asing yang bahkan hai ia juga seagama denganku. Hari-hariku di sini di lalui dengan penuh kejutan dari Rabbku. Ya, kejutan-kejutan yang tak terduga. Salah satunya hari ini, aku di rekrut sebagai salah satu pembimbing guru mengaji bersama teman-teman yang lain untuk membimbing anak-anak di sini belajar mengaji. Fantastis. Hal yang aku impikan sejak dulu, sejak perjuangan menghafal kalamullah di Indonesia empat tahun lalu. Sejak ku putuskan meninggalkan mimpi ini dan memilih menghafal Al-Qur’an. Inilah dakwahku di sini. Dan aku tak akan pernah melupakan tanah airku. Suatu saat aku akan kembali saat ilmu telah berada dalam genggaman dan meneruskan perjuangan berdakwah di Indonesia. Ini semua demi engkau Ayah Ibu. Aku mencintaimu selalu. Semoga Alloh menempatkan Ayah dan Ibu di tempat terbaik-Nya. Amiin… Terima kasih Ayah Ibu, untuk semuanya aku akan meneruskan perjuanganmu karena Alloh. Aku mencintaimu, Ayah Ibu…

Belanda, westernburg, 25 oktober 2014
Bertepatan tahun baru hijriyah 
Tertanda, Aisyah Al-abirissabil


No comments:

Post a Comment