Warta Journalizm

Warta Journalizm KPI IAIN Kudus

Post Page Advertisement [Top]

KETIKA UANG MELENYAPKAN KEPEDULIAN SOSIAL



KETIKA UANG MELENYAPKAN KEPEDULIAN SOSIAL 
Oleh : Siwiasi Hestika Wuri

Tiiiiiiiit…….suara klakson motor yang hampir menabrakku. Pagi itu cuaca sedikit mendung cocok untuk jalan-jalan. Aku keluar dari gang depan rumahku, ku pandangi kendaraan berlalu-lalang di sepanjang jalan Sunan Muria. Ku lanjutkan langkahku ke utara menuju tempatku mengikuti kursus desain busana.

Aku adalah orang yang sangat mendukung program pemerintah untuk mengurangi polutan, jadi sebisa mungkin untuk tidak menggunakan kendaraan motor pribadi. Dengan santainya ku berjalan di sepanjang trotoar yang baru saja mengalami renovasi. 

Ku nikmati perjalanan pagi itu, ku tebar senyuman ke setian pejalan kaki yang ku temui. Ada yang membalas senyumanku ada juga yang mengabaikannya, yaa… mungkin inilah suatu tanda lenyapnya kepedulian sosial. Di tepian jalan terlihat para penjual mulai menata dagangannya ada pula toko sudah dikepung pembeli. Semakin jauh ku berjalan ku temui penjual makanan yang menata meja dan kursi di trotoar depan warungnya, hatiku mulai bertanya-tanya mengapa dia menata meja dan kursi itu di trotoar yang sebenarnya dibangun pemerintah untuk para pejalan kaki? Namun aku tidak mau berprasangka buruk, ku hibur hatiku mungkin saja bagian dalam warung itu sedang dibersihkan sehingga penjual itu menatanya di trotoar. 

Kuberjalan di depan warung itu dengan memanfaaat jarak antara meja dan kursi yang ditata penjual tadi tak lupa kusodorkan senyuman kepada penjualnya namun penjual itu tidak memperhatikanku dan masih sibuk dengan kegiatannya.

          Ku lanjutkan menikmati perjalanan pagi ini. Semakin jauh ku berjalan semakin banyak pejalan kaki yang ku temui ada yang jalan untuk sekedar olahraga ada pula yang sengaja jalan untuk menuju suatu tempat karena dilihat dari pakaiannya tidak mungkin mereka hanya sekedar olahraga. Semakin jauh ku berjalan ku temui trotoar yang penuh dengan orang berjualan, mulai dari bensin, tambal ban, penjual jus, penjual gas elpiji bahakan ku lihat warung makan yang sengaja menaruh grobaknya di trotoar dengan dalih agar terlihat oleh pembeli, anehnya lagi ada trotoar yang digunakan untuk parkir motor. Dengan berat hati aku mengalah, ku turun dari trotoar dan berjalan di jalur sepeda motor. 

Tiiiiit….alangkah terkejutnya hatiku ada sebuah motor yang hampir menabrakku dari belakang. Motor itu berhenti di depanku, pengendaranya melihat ke arahku terlihat dari raut mukanya dia marah kepadaku . 

“maaf pak, saya kurang hati-hati” kataku dengan penuh rasa bersalah.
“lain kali hati-hati! jalanan ramai pagi-pagi gini” jawab bapak itu sambil mengamati sekeliling tempat itu.
“trotoarnya salah fungsi ini” imbuh bapak tadi lalu pergi melanjutkan perjalannya.
          Kejadian ini sampai menghentikan aktivitas orang-orang sekeliling baik penjual maupun pejalan kaki yang melintas. Salah seorang pejalan kaki menghampiriku.
“mbaknya tidak ada yang luka to? Tanyanya.
“tidak mas, Alhamdulillah bapaknya tadi bisa dengan sigap mengendalikan motornya” jawabku.
“lain kali lewat trotoar saja mbak tidak perlu takut trotoar ini hak pejalan kaki”.
Mendengar ucapannya hatiku senang, aku merasa mempunyai kawan untuk membela hakku. Ku hampiri pedagang yang dari tadi memperhatikanku.
“selamat pagi pak,buk! Apakah anda yang berjualan ini semua?” tanyaku.
“Benar mbak saya yang berjualan disini” jawab salah seorang pedagang.
“Bukankah trotoar ini tempat untuk pejalan kaki, lalu mengapa ibu nekat berjualan disini dan tindakan ibu ini menyulitkan pejalan kaki” tegasku.
“ya kami tau, tapi tidak ada pilihan lain. Kami butuh uang, kebutuhan kami banyak sedangkan pendapatan dari hasil jualan sangat minim sekali sehingga kami tidak mampu untuk menyewa ruko” jawabnya. 

Aku paham dengan apa yang dialami para penjual ini tetapi aku berusaha meluruskan agar mereka tertib.
“akan tetapi trotoar ini dibangun untuk pejalan kaki agar mereka nyaman saat berjalan tidak takut tertabrak oleh kendaraan yang melintas, jika ibu-ibu berjualan di trotoar lantas bagaimana nasib kami?”.
“kenapa kami harus memikirkan hal itu kalau berfikir untuk mencukupi kebutuhan kami saja tidak bisa” kata pedagang.
“Trotoar tempat yang strategis untuk berjualan. Kita tidak perlu keluar uang untuk sewa ruko, mengingat sewa ruko sangat mahal, tentunya kami tidak akan mendapat untung jika harus sewa ruko” imbuh pedagang lain.

Mendengar itu sedikit meredam emosiku, seakan aku merasakan perjuangan mereka mencari nafkah. Namun disini berjejer para pejalan kaki penuh harap aku akan membelanya. Aku termenung memandangi mereka. 
“bagaimana dengan resiko kita apakah itu tidak menjadi pertimbangan kalian? Apakah kalian akan bertanggung jawab jika salah satu diantara kami tertabrak saat menghindari dagangan anda ini?” balas salah seorang pejalan kaki yang mencoba membantuku. Ku mencoba tenang, ku jelaskan kepada para penjual agar mereka menghormati hak pejalan kaki.”
“bapak/ibu, pemerintah sengaja membuat trotoar ini demi keselamatan pejalan kaki, soal rejeki bukankah itu sudah di aturNya? Janganlah anda rampas hak orang lain hanya untuk rupiah! Namun penjual tidak mau mengerti
“jika trotoar di bangun untuk pejalan kaki mengapa tidak ada tindakan dari pemerintah, mengapa kita dibiarkan berjualan disini?. 

Mendengar jawabannya kami terdiam, kurangnya penertiban yang dilakukan pemerintah membuatnya tak menggubris omongan-omongan kami. Selain melapor ke Satpol PP yang terbesit dikepalaku adalah tanya ke trotoar dia memilih digunakan pejalan kaki atau untuk berjualan dan hasilnya krik…krik… (tanpa jawaban).

No comments:

Post a Comment