Warta Journalizm

Warta Journalizm KPI IAIN Kudus

Post Page Advertisement [Top]

Terkait dengan Sunan Kalijaga, Begini Awal Mula Kupatan

Terkait dengan Sunan Kalijaga, Begini Awal Mula Kupatan

Warta Journalism, Demak- Warnanya hijau muda, bentuknya ada yang segi empat jajar genjang serta lonjong. Tekstur luarnya agak kasar, dalamnya terbuat dari beras yang dibungkus dengan janur yang dianyam kemudian direbus. Itulah gambaran dari ketupat dan lepet.

Ketupat ada pada hari ke 7 setelah hari Idulfitri atau setelah selesainya puasa syawal selama 6 hari. Makanan ini biasanya ada di Jawa. Yaitu tradisi lebaran ketupat, bodo kupat, bakda ketupat, bakda syawal, bodo cilik, serta ada yang menyebutkannya juga kupatan.

Tradisi kupatan digelar pada 8 syawal. Konon, ketupat dan pasangannya lepet tersebut dipasang di atas pintu-pintu rumah mereka. Tujuan dari pemasangannya sebagai tanda bukti rasa syukur pemilik atas rezeki yang telah diberikan Tuhan kepada mereka.

Pada pagi harinya mereka berbondong-bondong menuju ke Masjid atau Mushola-mushola kampung untuk mengadakan selametan bersama dengan membawa ketupat dan lepet, beserta lauk pauknya yang kemudian didoakan bersama dan dimakan bersama-sama.

“tidak heran mbak, jika menjelang kupatan biasanya pasar tradisonal ramai dengan pedagang yang menjual janur, kelapa dan kebutuhan lainnya yang digunakan untuk memeriahkan tradisi kupatan ini” ungkap Malikah, salah satu warga Demak. Rabu, (12/06/2019)

Mengenai asal usul kupatan ini, memiliki kaitan erat dengan Sunan Kalijaga. Kanjeng Sunan Kalijaga yang pertama kali memperkenalkan kupatan pada masyarakat Jawa, bermula di wilayah Demak hingga tersebar ke seluruh Jawa pada pertengahan abad ke 15 yaitu kurang lebih sudah lima puluh tahunan. 

“Konon, sebagai upaya untuk menyebarkan agama Islam kepada masyarakat Jawa di Demak yang kebanyakan beragama Hindu” ujar Jalil, salah satu sesepuh yang kami temui di desa Dukuh Sumur, Demak.

Sunan Kalijaga memperkenalkan agama Islam untuk mengganti adat Hindhu dengan nilai-nilai Islam tanpa mengubah budaya lokal yang mengakar kuat di tanah Jawa. Di sinilah terlihat betapa Islam masuk ke tanah Jawa, khususnya Demak dengan sangat damai. Mereka juga menerima Islam dengan mudah. Dari sinilah ketupat dibuat dari anyaman janur yang melambangkan keberagaman masyarakat.

Ketupat sendiri dalam bahasa Jawa kepanjangan dari ngaku lepat dan laku papat. “Ngaku lepat” artinya mengakui kesalahan yaitu meminta maaf, menutup kesalahan yang sudah dimaafkan agar hubungan tali persaudaraan semakin erat seperti erat lengketnya ketan. Sedangkan “laku papat” artinya empat tindakan yaitu lebaran, luberan, leburan, laburan.

Janurnya yang sebagai bungkus ketupat memiliki makna telah datang cahaya, yaitu umat muslim mengharapkan datangnya cahaya dari Allah SWT yang senantiasa membimbing mereka kepada jalan yang diridhai oleh Allah SWT.

Isi ketupatnya berasal dari beras yang dimasak sampai menggumpal “kempel”, memiliki makna kebersamaan dan kemakmuran. Bentuk ketupatnya yang unik menandai simbol atau perwujudan cara pandang "kiblat papat lima pancer” yang menegaskan adanya kebersamaan dan keseimbangan alam. 

Empat arah mata angin utama yaitu timur, selatan, barat dan utara yang bertumpu pada satu pusat. Maknanya menandai bahwa dalam kehidupan ini, ke arah manapun umat Islam melangkah hendaknya tidak akan pernah menyembah selain Allah SWT.

Inti tradisi kupatan ini sebagai ungkapan rasa syukur serta untuk mengharap ridha Allah, dan juga mempererat ukhuwah islamiyah umat Islam. (Dwy Rahmawati)

No comments:

Post a Comment