Warta Journalizm

Warta Journalizm KPI IAIN Kudus

Post Page Advertisement [Top]

Indonesia, Satukan Darah yang Berbeda

Indonesia, Satukan Darah yang Berbeda

                           

“Tidak pernah terjadi konflik etnis, lebih-lebih menyeret agama.”

Dosen Sosiologi UIN Banten Suhaedi menekankan, bahwa tidak ada konflik etnis terlebih membawa agama di Banten. Apalagi menurutnya, tempat-tempat ibadah etnis Tionghoa berdiri berdampingan di tengah masyarakat. Ada ruang bebas dalam aktivitas ibadahnya.

Masjid Agung Banten sendiri memiliki unsur Jawa Kuno dan Tiongkok alam arsitektur bangunannya. Terlihat dari serambi yang lapang dan atap yang bertingkat, khas bangunan di dataran Tiongkok.

Uniknya atap di masjid ini memiliki 5 tingkatan dengan bentuk yang menyerupai tumpeng. Bagian ini merupakan karya dari arsitek China bernama Tjek Ban Tjuk (Laksmi, B.W. 2017).

Menurut Suhaedi, dengan adanya pertemuan banyak budaya termasuk budaya etnis Tionghoa dan masyarakat Banten yang kebanyakan adalah etnis Sunda akan menyebabkan keterbukaan satu sama lain. Pun dari beradaptasi akan terjalin keharmonisan.

Masyarakat Banten hidup berdampingan dengan nyaman dan rukun. Saling menghormati dan menghargai. Pandita Sumedho yang akrab disapa romo ketika mengisi materi dalam Workshop Pers Mahasiswa oleh Serikat Jurnalis Keberagaman (SEJUK).

Meski mengaku sebagai keturunan Tionghoa beragama Budhha, ia merasa bangga karena bisa disambut dengan hangat oleh masyarakat lokal Labuan, Banten, seperti keluarga sendiri.

“Kalau ada warga Tionghoa yang merasakan terdiskriminasi, saya kira tergantung kita (individunya). Mungkin saja dia tidak berbaur, memisahkan diri (dari masyarakat),” tuturnya.

Adanya toleransi di antara umat beragama, tesebut dalam kegiatan keagamaan yang terjadi antara etnis Tionghoa dan penduduk lokal. Yakni ketika umat muslim sebagai penduduk lokal datang ke kelenteng yang merupakan tempat ibadah etnis Tionghoa untuk berziarah. 

Seperti makam kuno tokoh Islam yang terdapat pada kelenteng Tso Su Kong. Konon sejarahnya pemilik dari makam tersebut bernama Embah Rachman juga disebut Hok Tek Tjeng Sin yang dianggap sebagai Dewa Bumi. Embah Rahman adalah seorang mualaf juara terkenal bagi daerah Tanjung Kait. 

Terdapat juga makam Dewi Neng, seorang mualaf pribumi setempat yang juga anak Kongco Tjo Soe Kong. Makam tersebut sering dikunjungi oleh  umat muslim (Saputra, F.T, 2020).

Begitupula ketika seorang etnis Tionghoa yang datang ke masjid. Entah sebagai mualaf (masuk agama islam) atau sekadar bersilaturahmi. 

“Semuanya baik, nggak ada masalah apa-apa. Saya sendiri juga suka membaur ke masjid atau ke mana-mana biasa saja,” ujar Hendrase seorang Buddhis keturunan Tionghoa ketika mendampingi Romo Sumedho. 

Begitu juga dengan Ustadz Toni, Ketua Bidang Kerukunan Agama Majelis Ulama di Labuan. Dirinya mengaku akan menjamin keharmonisan umat beragama yang sudah terjalin ratusan tahun lamanya.

Meski demikian, bukan berarti kisah kelam tak pernah datang. Seperti kerusuhan pada tahun 1998, yang dipicu oleh krisis ekonomi. Dianggap sebagai kelompok sosial yang diistimewakan pada masa Orde Baru, keturunan Tionghoa menjadi sasaran kerusuhan. 

Ditulis dalam artikel Berdikarionline.com yang diunggah pada tahun 2017, Budi Satyana seorang budayawan Balaraja berkisah bahwa ia merasakan situasi yang mencekam kala itu.

“Dulu, di rolling door rumah saya, kalo nggak ditulis Allah-Muslim, mungkin rumah saya sudah dijarah dan kakak perempuan saya diperkosa, ya namanya juga habis krisis moneter, voluta asing naik, pengaruh nilai ke rupiah juga naik.” 

Ketegangan serupa juga dialami oleh Romo Sumedho. ”Waktu itu saya masih kelas dua SD, dikepung dengan panser beserta tentaranya. Mengepung sekolah tionghoa ini yang seluruh muridnya nggak boleh keluar”.

Akan tetapi dirinya mengaku hal tersebut tidak berkaitan dengan tragedi kerusuhan 1998, dan tidak perlu diungkit lagi. “Sekarang ini kita sudah berubah. Masyarakat sudah cerdas. Pemerintah kita juga sudah bijak. Tidak ada lagi perbedaan” 

Perihal konflik bukanlah suatu perkara yang bisa dihindari dalam kehidupan. Tapi bukan berarti tak akan ada jalan penyelesaian. Terlebih jika hal tersebut disebabkan oleh kurangnya wawasan. 

Itu artinya perlu ada upaya kita untuk menyebarkan pemahaman inklusif pada mereka melalui diskusi, seminar, iklan, dll.” Pesan Ketua Fraksi Golkar Kabupaten Pandegalang Khatibul Umam.

Menurut Romo Shumedho, sudah tiba saatnya semuanya membaur. “Kita ini orang Indonesia harus cinta tanah air, harus bela tanah air. Kenapa? Karena kita lahir di Indonesia. Cari nafkah di Indonesia. Injek tanah Indonesia. Mati pun di Indonesia.”


(Tulisan ini bagian dari program Workshop Pers Mahasiswa yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) kerja sama dengan Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF) dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.)

Oleh Nilutthohiroh

No comments:

Post a Comment