Kitab
yang berisi tentang rumus-rumus dasar pelajaran bahasa Arab klasik yang ditulis
dengan bentuk irama agar mudah untuk dihafalkan. Di masyarakat arab bahkan
sampai Indonesia, terutama dikalangan santri, kitab ini termasuk salah satu
kitab yang dihafalkan selain Al Qur’an . Sebuah kitab kecil tentang kaidah bahasa
Arab dari abad ke-7 H/13 M. Kitab ini disusun oleh ahli bahasa dari Maroko yang
bernama Abu Abdillah Sidi Muhammad bin Daud Ash-Shanhaji alias Ibnu Ajurrum (w.
1324 M).
Di
dalam kitab Jurumiyah terdapat pembahasan soal kalam, i’rab, fi’il, hingga isim
lengkap mulai dari pengertian, jenis-jenis, hingga tanda-tandanya. Setiap bab
tersebut dilengkapi dengan contoh sehingga memudahkan pembaca untuk
memahaminya. Kitab ini juga menjadi dasar ajaran sebelum belajar kitab imrithi.
Manuskrip
kitab jurumiyah yang terbuat dari kertas Eropa oleh Abdul Salam bin Syaikh Kholil
bin Abdul Lathif dengan deskripsi Awal
Naskah: Naskah mengalami kerusakan pinggirnya, tetapi teks masih terbaca dengan
jelas. Sekarang kitab ini berada di repositori Wanantara.
Teringat
kisah Syaikhona Kholil yang terkenal
dengan berbagai macam karomahnya, beliau adalah seorang allamah, ahli fiqh,
ahli nahwu, dan bidang Syariat Islam lainnya dimana beliau ketika mengajar Jurumiyah yang ditegur oleh muridnya. Dulu kitab-kitab pesantren masih
berbentuk kitab yang tak beraturan paragrafnya sehingga tak ada beda mana judul
dan mana isi. Teks yang menerangkan Bab La Linafyil Jinsi dalam Jurumiyah
tertulis sebagai berikut:
(بَابُ
لاَ، اِعْÙ„َÙ…ْ Ø£َÙ†َّ لاَ تَÙ†ْصِبُ النَّÙƒِرَات)
Dengan arti “Bab La.
Ketahuilah bahwa La menasobkan isim nakiroh”
Namun saat mengajar,
Syaikhona Kholil membaca teks tersebut berbeda:
(بَابٌ،
لاَ Ø£َعْÙ„َÙ…ُ Ø£َÙ†َّ لاَ تَÙ†ْصِبُ النَّÙƒِرَاتِ).
Yang menimbulkan arti
“Bab. Saya tidak tahu bahwa La menasobkan isim nakiroh”
Tiba-tiba beliaupun
marah: “Lah, kalau gurunya tidak tau bagaimana muridnya bisa tau!” Akhirnya
beliaupun pulang ke ndalemnya meninggalkan para santri dalam kebingungan.
Keesokan
harinya beliau kembali mengajar, lagi-lagi beliau membaca teks tersebut dengan
salah, lagi-lagi beliau marah dan langsung pergi meninggalkan para santrinya.
Merekapun bingung dan takut, jika seterusnya begini maka pelajaran itu takkan
bisa dihatamkan. Akhirnya mereka memikirkan bagaimana solusinya untuk menyelesaikan
masalah itu.
Esoknya
terulang kembali, Syaikhona Kholil membacanya dengan bacaan yang salah, namun
tepat sebelum beliau hendak marah, ada seorang santri yang memberanikan diri
berkata:
“Maaf, Kiai. Membacanya
bukan begitu, tapi بَابُ لاَ، Ø¥ِعْÙ„َÙ…ْ Ø£َÙ†َّ (Bab La, ketahuilah)”
Sontak Syaikhona Kholil
berkata dengan suasana ceria: “Nah kalau begini baru benar!” Akhirnya beliau
dapat melanjutkan pelajaran tersebut dan para santripun lega dengan itu.
Tidak
masuk akal jika sekelas Syaikhona Kholil salah dalam membaca kitab dasar serupa
Jurumiyah, lebih-lebih beliau terkenal dengan kealiman nahwunya. Tapi beliau
seakan-akan ingin menyampaikan pesan dibalik kejadian tersebut:
“Nak,
kalau engkau menyadari sebuah kesalahan dari siapapun, walaupun itu berasal dari
seorang yang derajatnya diatasmu, maka perbaikilah dia, namun dengan adab dan
musyawarah yang benar dan disepakati, dengan ilmu pasti, sebab kasihan dia jika
engkau diamkan dalam kesalahannya, dan kasihan dirimu mengabaikan kesempatan
untuk menjadi tegas dalam kebenaran.
Tapi
ini tentang mengingatkan kebenaran, ini tentang menciptakan suasana bahagia
antar sesama, karena kita tahu bahwa kesamaan prinsip lebih menciptakan
kedamaian.
Bukankah indah jika ia
sadar akan kesalahannya berkat teguran sopan darimu?
Bukankah
indah jika kau bisa mengingatkannya dengan lembut, dengan rasa tulus dari hati
bahwa niatmu bukan menggurui tapi murni ingin meluruskan?
Nak, ini bukan tentang
menyalahkan seseorang, tapi ini tentang membenarkan sebuah kesalahan.”
Begitulah
Syaikhona Kholil dan rahasia dibalik tingkah lakunya yang menjadi ayat untuk
kesadaran seseorang.
Seorang ulama besar yang
menampakkan bahwa jika memang salah dirinya mau disalahkan bahkan oleh santri
yang masih belajar.
Seorang
ulama besar yang berhasil mendidik murid kecilnya menjadi orang yang tegas dan
beradab jika menyampaikan kebenaran serta tak sembarangan menuding sebuah
kesalahan.
Akhlak ini yang patut
kita tiru, sebab sangat tidak pantas jika kita sebagai orang awam tapi
bertingkah seolah tak pernah salah. Atau menuding sebuah kesalahan yang kita
sendiri tidak tau apakah tudingan tersebut benar atau salah.
Maka dengan akhlak ini, mari kita memohon kepada Allah, dengan berkah Syaikhona Kholil, agar kita dimasukkan dalam golongan orang-orang yang rendah hatinya sehingga mudah bagi kita untuk selalu Ridlo terhadap Qodlo dan Qadar Allah Subhanahu wa Ta’ala, bijahi Sayyidina Rosulillah Muhammad shollallohu alaihi wasallam. Aamiin.(Akhmad Burhanuddin Hanafi, Ida Safira Fitriana)
No comments:
Post a Comment